DESA LORAM KULON KEC JATI KABUPATEN KUDUS DENGAN TRADISI KIRAB NGANTEN YANG UNIK!!
Tradisi ini bermula saat Sultan Hadirin nama aslinya Raden Toyyib Ayahnya bernama Sultan Munghayat Syah dari Aceh. Yang memiliki ayah angkat bernama Tje Wie Guan di Campa kemudian Sultan Hadirin merantau ke pesisir Jawa tepatnya di Jepara dulunya dipimpin oleh seorang Ratu yang masih gadis tak lain adalah Ratu Kalinyamat. Di sana Raden Toyyib bekerja menjadi tukang kebun Ratu Kalinyamat hingga menjadi suaminya. Baru setelah itu kedudukan beliau berubah menjadi Raja. Telah lama pernikahan itu berlangsung namun tak kunjung mendapat keturunan hingga akhirnya Ratu Kalinyamat meminta dan memilihkan istri untu suaminnya. Hingga akhirnya sang Ratu datang dan melamarkan suaminya dengan putri Sunan Kudus Roro Prodobinabar.
Sunan Kudus mengetahui bahwa menantunnya tersebut adalah seorang ulama’, akhirnya Sunan Kudus meminta Sultan Hadirin ikut membantu menyebarkan agama islam di Kudus bagian selatan. Beliau memilih di desa Loram yang dipusatkan di masjid wali.
Ketika masyarakat yang baru beralih dari hindu budha ke islam, masih belum tau banyak mengenai ajaran dan apa yang ada didalam islam. Termasuk bulan-bulan dalam islam sehingga beliau banyak memperkenalkan kepada masyarakat. Kebetulan memasuki bulan yang dimana pada bulan itu biasannya dimanfaatkan masyarakat untuk melaksanakan hajat termasuk akad nikah, misalnya bulan dzulhijjah.
Ketika masyarakat yang melaksanakan akad nikah banyak sekali dan mereka berkeinginan untuk didatangi beliau satu-persatu katakanlah misalkan masyarakat yang sebelah selatan ingin didatangi masyarakat sebelah utara juga ingin didatangi. Padahal waktu itu belum ada pembagian desa Loram atau masih jadi satu kesatuan sedangkan wilayah Loram yang sangat luas tidak mungkin dijangkau oleh beliau satu persatu. Untuk menghindari rasa kecemburuan apabila yang selatan didatangi dan yang utara tidak akhirnya beliau mengambil sikap secara bijaksana yaitu tidak mendatangi semua tetapi dengan berpesan kepada masyarakat “ Anak putu Loram kalau menikah tidak usah mendatangkan saya satu persatu cukup melaksanakan akad nikahnya di dalam masjid. Andai kata tidak di masjid bisa di rumah, KUA, atau mushola. Setelah selesai akad nikah saya minta supaya untuk melaksanakan dengan berjalan mengelilingi gapuro nanti saya akan berdiri di dalam masjid untuk menyaksikan kalian semua dan mendoakan kalian semua dari dalam masjid.” Setelah itu maka lahirlah sebuah tradisi yang dikenal dengan kemanten ngubengi gapuro.
Gapuro sendiri itu berasal dari bahasa Arab ghofuro yang artinya tempat untuk meminta pengampunan. Yang dulunya itu disebut pure karena dulunya masyarakat banyak yang menganut agama hindu bangunan itu sendiri dianggap sebagai tempat ibadahnnya. Gapuro tersebut didirikan oleh Sultan Hadirin pada tahun 1596. Dan sejak saat itu tradisi kemanten ngubengi gapuro dilakukan dan masih dilestarikan sampai saat ini meskipun sudah ratusan tahun berlalu. Seiring berkembangnya waktu nama tradisi tersebut berubah setelah diakui sebagai cagar budaya oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menjadib kirab ngantin.
Cara pelaksanaan kirab ngantin
Setelah bertahun-tahun berjalan seperti itu, dulu tidak ada yang mengarahkan entah niatnya itu salah atau benar. Tidak ada aturanya karena belum ada satu orang yang ditunjuk untuk mengarahkan. Pada tahun 1997 ketika Pak Afroh Aminuddin ditunjuk oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menjadi JUPEL (juru pemeliharaan). Dari situlah disuruh buat buku tamu, jadi pemandu wisata lokal setiap ada pengantin untuk mengarahkan sebagai berikut: pertama, mengisi kas secara suka rela tidak ditentukan besaran nominalnya tujuannya supaya mereka dalam melakukan kirab tidak hanya melakukan tradisi namun punya tabungan amal jariyah. Yang dilakukan sebelum masuk pintu trowongan yang sebelah selatan. Kedua, diarahkan masuk ketempat yang sudah disediakan yaitu kedepan masjid dimana sudah dikelilingi pagar dan tersedia meja yang diatasnya buku untuk diisi guna untuk laporan kepada Dinas Kebudayaan. Ketiga, melakukan foto sebagai bukti kalau pengantin tersebut sudah sah menjadi sepasang suami istri. Bila belum sah menjadi sepasang suami istri pasti memiliki rasa malu bila foto berdua didepan banyak orang. Keempat, lalu keluar lewat pintu yang utara menuju depan pintu gerbang gapuro. Ketika didepan pintu gerbang gapuro ada membaca do’a dengan dipandu sebelum membaca do’a pemandu akan mengarahkan”saya arahkan kepada mbak dan mas kalian dalam menikah itu diniatkan ibadah. Tujuan kirab ini di masjid supaya tidak ada penyimpangan ajaran agama dalam menikah diharapkan dengan niat yang baik di do’akan oleh para leluhur dan para tokoh-tokoh masyarakat disini semoga kelak menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.” Baru setelah itu membaca do’a yang berbunyi: “Bismillahirrahmanirrahim Allahumma Bariklana Bikhoir” (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Yaa Allah berkahilah kami dengan kebaikan) dengan menghadap kearah barat atau arah pintu Kelima, kirab atau mengelilingi cukup satu kali jika ada yang mau mengelilingi tiga atau bahkan sampai tujuh kali diperbolehkan. Biasannya sanak keluarga banyak yang ikut untuk mengelilingi gapuro.
Untuk waktu pelaksanaan tidak ditentukan ada yang setelah ijab qabul, jam tiga malam, waktu dhuhur, sholat shubuh, satu atau tiga hari setelahnya, bahkan ada yang satu tahun setelah ijab qabul. Namun, yang sering dilakukan setelah ijab qabul, sebelum resepsi atau sesudahnya karena masih menggunakan pakaian pengantin dan masih menggunakan riasan wajah. Sehingga memiliki kesan tersendiri meskipun tidak diwajibkan menggunakan kebaya pengantin lengkap dengan riasannya.
Respon masyarakat terhadap tradisi di Loram tersebut
Masyarakat memiliki tanggapan masing-masing terhadap tradisi kirab ngantin di Loram tersebut. Namun, bagi orang Loram asli hukumnya wajib secara tradisi atau adat untuk melakukan kirab tersebut. Baik yang asli Loram itu dari pihak laki-laki atau perempuan. Bila tidak mau melakukan tradisi tersebut jangan sampai menjelek-jelekkan atau berkata yang tidak pantas seperti halnya kisah dibawah ini.
Pernah terjadi pada malam hari sekitar pukul satu atau dua dari arah timur ada sepasang laki-laki dan perempuan menaiki becak setelah sampai ditimur taman turun kemudian, perempuan itu turun dengan kesulitan dan dibopong oleh suaminnya. Ternyata sepasang laki-laki dan perempuan itu pengantin baru saat selesai akad nikah melewati gapuro tersebut sang istri diajak untuk melakukan tradisi kirab ngantin tidak mau justru berkata “ kadaran boto diubengi kater ono apane ” setelah itu mereka pulang kerumah saat mau turun dari mobil tiba-tiba sang istri ketliyer atau terkilir kemudian sakit. Dibawa ke medis katanya tidak ada penyakitnya, dibawa ke alternatif atau tukang pijit katanya tidak terkilir. Akhirnya di bawa ke orang pintar atau kiyai disitu diarahkan ditannya dulu setelah menikah sudah mengelilingi gapuro belum? Belum jawab laki-laki itu kemudian, sang kiyai menyuruh untuk pengantin baru tersebut mengelilingi gapuro siapa tau obatnya ada disana. Setelah beberapa hari mendapat kabar bahwa pengantin tersebut sudah sembuh setelah melakukan tradisi kirab tersebut.
Ada lagi kisah sepasang pengantin baru yang perempuan dulunya bertempat tinggal di Loram sudah lama menetap di Jepang Pakis sedangkan yang laki-laki berasal dari Pasuruan mereka tidak melangsungkan tradisi tersebut karena sudah tidak menetap lagi di Loram. Namun, sampai lima tahun usia pernikahan mereka belum juga memiliki keturunan. Akhirnya ikhtiar pergi ke kiyai terus disuruh melakukan tradisi kirab tersebut. Setelah satu tahun akhirnya memiliki keturunan.
Jadi hukum wajib secara tradisi itu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena banyak sekali hal-hal yang tidak rasional tetapi ada. Boleh dilakukan boleh tidak tetapi sebaiknya dilakukan karena dilihat dari tujuan baik dari kirab ngantin tersebut.
Selain itu tradisi kirab nganten tersebut memiliki banyak nilai-nilai pendidikan yang dapat diambil hikmahnya diantaranya: banyak yang mendoakan karena banyak masyarakat yang ikut menyaksikan, menghindari gunjingan dan fitnah dari masyarakat. Pengantin yang sudah melaksanakan tradisi tersebut banyak warga yang menyaksikan sehingga bisa sekaligus mengumumkan status baru mereka yakni menjadi pasangan halal. Terdapat pula makna lain yaitu bisa mengingatkan kita akan ibadah kepada Allah karena kita mendatangi masjid, memperoleh banyak do’a restu, yang terakhir untuk memperoleh berkah dan keselamatan melalui perantara wali Allah.
Posting Komentar untuk "DESA LORAM KULON KEC JATI KABUPATEN KUDUS DENGAN TRADISI KIRAB NGANTEN YANG UNIK!!"
Berkomentarlah dengan bijak