Makalah Ruang Lingkup Musaqoh, Mukhobaroh, Muzaro'ah
KATA
PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur
kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah dan inayahnya
makalah ini dapat terselesaikan dalam waktu yang tepat. Walaupun didalamnya
masih terdapat banyak kekurangan yang disebabkan karena minim dan terbatasnya
pengetahuan yang kami kuasai.Kedua, shalawat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari
jurang kebodohan menuju dataran keilmuan seperti sekarang ini.
Tak lupa kami ucapkan terima
kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Fikih Muamalah yang telah memberikan
ilmu dan bimbingan kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan.Kami yakin dalam pembuatan
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan agar dalam pembuatan
makalah selanjutnya lebih baik.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Islam sebagai ajaran yang
mengajarkan kehidupan yang seimbang memberikan perhatian yang besar terhadap
kegiatan pertanian dan cabangnya. Perhatian
tersebut terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an, Hadits dan kehidupan
Rasulullah Saw dan para sahabatnya yang berkaitan dengan pertanian ataupun
pengolahan lahan. Pengolahan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara
sebagaimana yang telah dianjurkan dalam agama islam seperti halnya dengan cara
diolah sendiri oleh yang mempunyai lahan atau diolah oleh orang lain untuk
dikelola dan dibagi hasil. Hal ini dilakukan karena ada sebagian masyarakat
diantara mereka yang mempunyai lahan akan tetapi tidak mempunyai kemampuan
untuk mengolahnya. Ada juga sebagian yang mampu untuk mengolah lahan akan
tetapi tidak memiliki lahan untuk diolah.
Islam memiliki
solusi memanfaatkan lahan pertanian dalam system yang lebih menunjukkan
nilai-nilai keadilan bagi kedua belah pihak, yakni dengan cara kerjasama bagi
hasil yang menggunakan system musaqah, muzaroah dan mukhobaroh yang
merupakan contoh kerjasama dibidang pertanian islam. Dalam musaqah, muzaroah
dan mukhobaroh biasannya terjadi dikalangan masyarakat saat ini, meskipun
syarat dan ketentuan sudah ada tetapi masih saja sering terjadi kesalahpahaman
antara pemilik tanah dengan si penggarap terutama dari segi hasilnya yang harus
dibagi tetapi perolehan panen tidak sesuai dengan harapan kita. Dan juga
mengenai benih yang ingin ditanam oleh si penggarap.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian musaqoh, muzaroah dan
mukhobaroh?
2.
Apa
landasan hukum musaqoh, muzaroah dan mukhobaroh?
3.
Apa
syarat dan rukun dari musaqoh, muzaroah dan
mukhobaroh?
4.
Apa
saja hikmah musaqah, muzaro’ah dan mukhobaroh?
C.
TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1.
untuk
mengetahui pengertian musaqah,
muzaroah dan mukhobaroh.
2.
untuk mengetahui landasan hukum musaqoh, muzaroah dan mukhobaroh.
3.
untuk mengetahui syarat dan rukun dari musaqoh, muzaroah dan
mukhobaroh.
4.
untuk mengetahui hikmah dari musaqoh muzaro’ah dan mukhobaroh
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Musaqah
1. Pengertian Dan Dasar
Hukum Musaqoh
Al-musaqoh berasal dari kata as-saqa.
Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi
(penyiraman) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqoh (penyiraman/
pengairan). Secara istilah al-musaqoh ialah akad antara pemilik dan
pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang
diurusinya. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, musaqoh adalah akad untuk
pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan
syarat-syarat tertentu. Menurut Imam Syafi’I musaqoh adalah memberikan pekerjaan orang yang
memberikan pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya
dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan pekerja memperoleh bagian
tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut. Dasar hukum musaqoh
adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr ra., bahwa
Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
‘’Memberikan
tanah kepada penduduk Khaibar dengan bagian separuh dari penghasilan, baik
buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan, bahwa
Rasulullah menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal
hartanya, penghasilan separuhnya untuk Nabi’’.
Tugas seorang penggarap dalam musaqoh ini
adalah mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka
pemeliharaannya untuk mendapatkan buah. Ditambahkan pula untuk setiap pohon
yang berbuah musiman diharuskan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus
pertumbuhan pohon, memelihara dll.
2.
Rukun dan syarat musaqoh
Dalam pelaksanaan musaqoh
harus memenuhi rukun dan syaratnya.
Menurut ulama Syafi’iyah ada lima berikut ini:
1)Shigah yang dilakukan
kadang-kadang jelas (sharih) dan
dengan samar (kinayah). Disyaratkan ,
shigah dengan lafadz dan tidak cukup dengan perbuatan
saja.
2) Dua orang atau pihak yang berakad( al-‘aqidani):
disyaratkan bagi orang-orang yang berakad dengan keahli (kemampuan) untuk
mengelola akad, seperti baligh, berakal dan tidak berapa di bawah pengampunan.
3) Kebun dan semua pohon yang berbuah: semua pohon yan g
berbuah boleh diparuhkan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan (satu kali
dalam setahun) maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati, seperti padi,
jagung dll.
4) Masa kerja: hendaknya ditentukan lama waktu yang akan
dikerjakan, seperti tersebut, tanaman atas pohon yang diurus sudah berbuah,
juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang
kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-cabang pohon yang akan menghambat
kesuburan buah atau mengawinkannya.
5) Buah: hendaknya ditentukan bagian masing-masing (yang
punya kebun dan bekerja di kebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat atau
ukuran yang lainnya satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan. Dalam
waktu.
3.
Musaqah
yang dibolehkan
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan dalam
musaqoh sebagaimana dikemukakan oleh Suhendi bahwa Imam Abu Dawud berpendapat,
yang boleh di-musaqohkan hanya kurma. Menurut Syafi’iyah, yang boleh
di-musaqohkan hanyalah kurma dan anggur saja, sedangkan menurut Hanafiyah semua
pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dapat di-musaqohkan, seperti tebu.
Apabila waktu lamanya musaqoh tidak ditentukan ketika akad maka waktu
yang berlaku hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula
untuk pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
Menurut Imam Malik, musaqoh dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki
akar kuat, seperti delima, tin zaitun dan pohon-pohon yang serupa dengan itu,
dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti
semangka dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk
menggarapnya.
Menurut Madzhab Hambali, musaqoh diperbolehkan untuk semua pohon yang
buahnya dapat dimakan. Dalam kitab Al- Mughni, Imam Malik berkata, musaqoh
diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon
yang perlu disiram.
Kewajiban penyiram (musaqi) menurut Imam Nawawi adalah mengerjakan apa
saja dlam rangka pemeliharaan pohon untuk mendapatkan buah. Ditambahkan pula
untuk setiap pohon yang berbuah secara musiman diharuskan menyiram,
membersihkan, memelihara buah dan perintisan batangnya.
Maksud memelihara asalnya (pokoknya) dan tidak berulang setiap tahun
adalah pemeliharaan hal-hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu (insindental),
seperti membangun pematang, menggali sungai, mengganti pohon-pohon yang rusak
atau pohon yang tidak produktif adalah kewajiban pemilik tanah dan
pohon-pohonnya (pengadaan bibit).
Penggarap kadang tidak selamannya mempunyai waktu untuk mengurus
pohon-pohon yang ada di kebun, tetapi kadang-kadang ada halangan untuk
mengurusnya, seperti sakit atau bepergian. Apabila penggarap tidak mampu
bekerja keras karena sakit atau bepergian yang mendesak, musaqah menjadi batal,
tetapi penggarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama ia
berhalangan. Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab Hanafi.
Apabila penggarap tidak mampu menggarap tugasnya mengurus pohon-pohon,
sedangkan penjual buah sudah waktunya tiba, menurut Imam Malik, penggarap
berkewajiban menyewa orang lain untuk menggantikan tugasnya mengurus
pohon-pohon. Orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang dihasilkan dari
musaqoh karena orang kedua dibayar oleh musaqi sesuai dengan perjanjian.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa musaqoh batal apabila pengelola tidak
lagi mampu bekerja untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun atau di sawah
yang di-musaqahkan, sebab penggarap telah kehilangan kemampuan untuk
menggarapnya.[1]
B.
Muzaroah
1.
Pengertian dan Landasan Hukum Muzaroah
Menurut Bahasa, kata muzaroah adalah kerjasama mengelola tanah
dengan mendapatkan sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah Fiqh ialah
pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat
bagi hasil atau semisalnya. Menurut Hanafiyah muzaroah adalah akad untuk bercocok tanam pada sebagian
yang keluar dari bumi. Sementara menurut Hanabilah, muzaroah adalah pemilik tanah yang sebenarnya
menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.[2]
Dalam pengertian lain ada yang menyebut, muzaroah yaitu paroan sawah atau lading, seperdua,
sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang yang
menggarap).[3]
Dalam mukhobaroh, bibit yang akan ditanam disediakan oleh
penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzaroah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Kerjasama dalam bentuk muzaroah ini merupakan kehendak dan keinginan kedua
belah pihak, oleh karena itu harus terjadi dalam suatu akad atau perjanjian,
baik secara formal dengan ucapan ijab dan qabul , maupun dengan cara lain yang
menunjukkan bahwa keduanya telah melakukan kerjasama secara rela sama rela.
Dapat dijelaskan bahwa muzaroah merupakan kerjasama antara pemilik tanah dan
penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan
bersama, sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila bibit
disediakan sipekerja, maka kerjasama ini disebut mukhabaroh.
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum muzaroah
adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas ra.[4]
أنّ النّبيّ ص م لم يحرم المزرعة و لكن أمران يرفق بعضهم
ببعض بقوله من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فان أبى فلييمسك أر (رواه
البخاري)
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Saw. Menyatakan, tidak
mengharamkan bermuzaraah bahkan beliau menyuruh, supaya yang sebagian
menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki
tanah, maka hendaklah ditanaminya atau memberikan faedahnya kepada saudaranya,
jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”
2.
Rukun dan Syarat Muzaroah
Menurut Hanafiah
rukun muzaroah ialah akad, yaitu ijab
dan qabul antara pemilik dan
pekerja, secara rinci rukun-rukunnya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan
alat-alat untuk menanam.[5]
Sementara
menurut Hanabilah, rukun muzaroah adalah satu yaitu ijab dan qabul , boleh dilakukan dengan lafadz apa
saja yang menunjukkan ijab dan
qabul dan bahkan muzaroah sah
dilafadzkan dengan lafadz ijarah.[6]
Menurut jumhul ulama ada empat rukun dalam muzaroah yaitu:
a.
Pemilik tanah
b.
Petani penggarap
c.
Objek al-muzaroah
d.
Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
Sedangkan
syarat-syarat muzaroah adalah
sebagai berikut:[7]
a.
Syarat yang bertalian dengan aqidain yang harus berakal.
b.
Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan
macam apa saja yang harus ditanam.
c.
Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman sebagai berikut:
1)
Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya ketika akad.
2)
Hasil adalah milik bersama.
3)
Bagian antara amil (pemilik tanah) dan malik (pekerja)
adalah satu jenis barang yang sama. Jika bagian antara amil dan malik tidak
sama maka tidak sah.
4)
Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui.
5)
Tidak disyaratkan bagi salah satunya ada penambahan yeng telah
diketahui.
d.
Hal yang berhubungan dengan tanah akan ditanami sebagai berikut:
1)
Tanah tersebut dapat ditanami.
2)
Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
e.
Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
1)
Waktunya sudah ditetapkan.
2)
Waktunya itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud, seperti
menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan (bergantung pada tekhnologi yang
dipakainya, termasuk kebiasaan tempat).
3)
Waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
f.
Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzaroah alat tersebut
disyariatkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
C.
Mukhobaroh
1.
Pengertian dan Landasan Hukum Mukhobaroh
Secara etimologis mukhobaroh adalah tanah yang
gembur (khibar).[8]
Secara istilah mukhobaroh ialah kerja sama pengolahan pertanian antara
lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepaang
beda si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu
(persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari penggarap. Bentuk
kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya
akan dibagi menurut kesepakatan. Biaya dan benihnya dari pemilik tanah.[9]
Ulama
Syafi’iyah membedakan antara muzaroah dan mukhabarah:
المحبرة عمل الارض ببعض ما يحرج منها والبذرمن.
والمزارعة هي المخابرة ولكنّ البذرفيها يكون من المالك. العامل
Artinya: “
Mukhabarah adalah mengelola tanah diatas sesuatu yang dihasilkannya dan
benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzaroah sama seperti mukhabarah, hanya
saja benihnya verasal dari pemilik tanah.”[10]
Dapat dipahami
dari pemaparan di atas bahwa mukhobaroh dan muzaraah ada kesamaan dan ada pula perbedaan.
Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzaraan terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu
pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola.
Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah,
dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut mizaraah. Pada
umumnya, kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya
relative murah, seperti padi, jagung dan kacang. Dalam mukhabarah, yang
wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang menanam,
sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal
dari keduannya, maka zakat diwajibkan kepada keduannya jika sudah mencapai
nishab, sebelum pendapatan dibagi dua.
Landasan hukum
yang membolehkan mukhabarah dan muzaraah,
dari sabda Nabi Saw yang artinya:
“Dari Thawus ra bahwa ia suka bermukhabarah. Amru
berkata: lalu aku katakan kepadannya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau
tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi Saw telah
melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku
orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi
Saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi
manfaat kepada saudarannya lebih baik ia mengambil manfaat dari saudaranya itu
dengan upah tertentu”. (HR. Muslim)[11]
Jadi, hukum
mukhabarah sama seperti muzaraah yaitu mubah atau boleh dan seseorang dapat
melakukannya untuk dapat memberi dan mendapat manfaatnya dari kerja sama
muzaraah dan mukhabarah ini. Mengenai syarat dan rukun mukhabarah adalah sama dengan
muzaraah.
D.
Hikmah Musaqah, Muzaraah dan Mukhabarah
a.
Musaqah
Ada orang kaya
yang memiliki tanah yang ditanami pohon kurma dan pohon-pohon yang lain, tetapi
dia tidak mampu menyirami atau memelihara pohon ini karena ada suatu halangan
yang menghalanginya. Maka Allah yang maha bijaksana memperbolehkan orang itu
untuk mengadakan suatu perjanjian dengan orang yang dapat menyiraminya, yang
masing-masing mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada
dua hikmah:
1)
Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat
mencukupi kebutuhannya.
2)
Saling tukar manfaat antar manusia.
Disamping itu, ada faedah lain bagi pemilik pohon,
yaitu karena pemelihara telah berjasa merawat hingga pohon-pohon menjadi besar.
Kalau seandainya pohon itu dibiarkan begitu saja tanpa disirami, tentu dapat
mati dalam waktu singkat. Belum lagi faedah dari adanya ikatan cinta, kasih
sayang, antara sesame manusia, maka jadilah umat ini umat yang bersatu dan
bekerja untuk kemaslahatan, sehingga apa yang diperoleh mengandung faedah yang
besar.[12]
b.
Muzaraah
Ada beberapa hikmah
muzara’ah diantaranya adalah:
a. Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah
dengan penggarap.
b.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d.
Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki
kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
c.
Mukhabarah
Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk
menggarap sawah dan dapat mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah ada
pula orang yang memiliki tanah yang subur untuk ditanami tetapi tidak punya
binatang ternak dan tidak mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerjasama
antara mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yang
lain menggarap dan bekerja menggunakan binatangnya dengan tetap mendapatkan
bagian masing-masing, maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin
luasnya daerah pertanian yang merupakan sumber kekayaan tersebut.[13]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas mengenai muzaraah,
mukhabarah ialah dimana suatu akad
kerja sama yang dilakukan antara dua orang dalam pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan si
penggarap. Dalam muzaraah pemilik
lahan menyerahkan lahan pada si penggarap untuk ditanam dan dipelihara dengan
imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang benihnya dari pemilik lahan.
Terdapat kesamaan antara muzaraah dan mukhabarah dari pembagian
kerja sama tersebut dan yang membedakannya adalah apabila modal berasal dari
pemilik lahan maka disebut muzaraah dan apabila modal berasal dari si penggarap
itu sendiri maka disebut mukhabarah. Dan untuk pembagian hasil sesuai
kesepakatan masing-masing yang melakukan kerja sama tersebut. Sementara itu,
musaqah ialah antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai
upahnya adalah buah dari pohon yang diurusinya.
B. Saran
Penulis banyak berharap pada pembaca dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnannya makalah ini
dan untuk penulis makalah di kesempatan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sholahuddin, Muhammad, 2011, Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan dan
Bisnis Syariah, Jakarta: IKAPI
Nawawi, Ismail, 2012, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor:
Ghalia Indonesia.
Rasjid, Sulaiman, 1994, Fiqih Islam, Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Sahrani, Sohari, Rufah,
Abdullah, 2011, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia.
Syafi’I, Rahmat, 2006, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia.
Pelangi Laskar, Tim, 2013, Metodologi Fiqih
Muamalah, Kediri: Lirboyo Press.
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BalasHapusBONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.